Esay : Penambahan Sumber Karbon, Khamir dan Bakteri Asam Asetat pada Fermentasi Biji Kakao Kering sebagai Upaya Perbaikan Kualitas Biji Kakao

Indonesia merupakan Negara penghasil biji kakao terbesar nomor tiga di dunia. Biji kakao Indonesia kebanyakan di ekspor ke Eropa yang nantinya diolah menjadi berbagai produk berbahan dasar coklat. Biji kakao Indonesia memiliki keunggulan dibandingkan dengan kakao dari Negara lainnya. Ciri khas kakao Indonesia terletak pada cita rasanya dan titik leleh yang tinggi. Titik leleh yang tinggi ini membuat olahan coklat yang dibuat nantinya tidak mudah leleh. Standar biji kakao yang akan di ekspor adalah sudah dilakukan fermentasi terlebih dahulu. Menurut Doume dkk., (2013) fermentasi merupakan tahapan pengolahan yang sangat vital untuk menjamin dihasilkannya cita rasa cokelat yang baik. Fermentasi juga sangat berperan dalam perkembangan aroma dan rasa serta pengurangan rasa sepat dan pahit. Selain itu fermentasi kakao juga berfungsi untuk menghilangkan lender putih yang menyelimuti biji (biasanya disebut pulp), serta mempengaruhi warna dari biji kakao. Fermentasi yang baik akan membuat biji kakao berwarna keungguan.

Pada umumnya fermentasi dilakukan setelah buah kakao masak. Kemudian dia,nil bijinya dan dimasukan pada wadah. Pada skala kecil tempat yang digunakan dapat berupa baskom namun jika skala besar dapat menggunakan kotak fermentasi. Proses fermentasi akan berlangsung selama beberapa hari. Proses fermentasi berlangsung pada kondisi tertutup (anerob) serta aerob, oleh karena itu perlu dilakukan pembalikkan secara berkala. Pada saat fermentasi seperti ini tidak perlu ditambahkan inokulan mikrobia karena secara alami inokulan mikrobia asam laktat sudah tersedia di alam pun tidak perlu penambahan substrat karena pulp kakao yang menggandung glukosa yang tinggi itulah yang digunakan mikrobia untuk substrat. Aktivitas mikrobia seperti khamir dan bakteri asam asetat ialah memfermentasi glukosa menjadi etanol serta asam laktat. Proses fermentasi yang demikikan disebut fermentasi basah. Setelah proses fermentasi barulah biji kakao dikeringkan dan dijual ke pengepul. Harga biji kakao kering fermentasi dapat mencapai 15.000 per kg. Namun jika tidak dilakukan fermentasi harga biji kakao kering hanya mencapai 12.000 per kg. Permasalahannya adalah kakao Indonesia umumnya berasal dari perkebunan rakyat dimana kualitasnya sangat beragam. Selain itu juga banyak petani yang tidak melakukan fermentasi kakao ini karena minimnya pengetahuan petani akan proses fermentasi. Akibatnya mereka kemudian menjual biji kako kering tanpa fermentasi ke PT. Pagiliran misalnya. Tentunya hal ini menyebabkan masalah baru di PT. Pagilaran karena produk biji kakao yang diinginkan pasar Internasional adalah biji kakao kering fermentasi sementara yang masuk ke PT.Pagilaran adalah Biji kakao kering tanpa fermentasi.

Kondisi yang dipaparkan pada paragraph diatas tentunya membutuhkan suatu penyelesaian baik ditingkat petani maupun ditingkat pengepul (PT.Pagilaran). Ditingkat petani, perlu dilakukan sosialisasi dan pendampingan proses fermentasi biji kakao. Dengan adanya pendampingan yang intens ditingkat petani serta disampaikan pentinya proses fermentasi ini tentunya petani akan tergerak untuk melakukan fermentasi. hal tersebut karena proses fermentasi basah tidak memerlukan bahan tambahan dan prosesnya tidak rumit hanya perlu wadah dan penutup saja. Namun, perlakuan tersebut mampu meningkatkan pendapatan petani karena biji kakao kering yang semula dihargai 12.000 per kg kini dapat dihargai 15.000 per kg setelah dilakukan fermentasi. Sementara itu, ditingkat pengepul (PT Pagilaran) dapat dilakukan fermentasi kering untuk memperbaiki kualitas biji kakao. Fermentasi kering membutuhkan substrat tambahan karena pulp yang semesterinya dapat dijadikan substrat oleh bakteri dan khamir sudah hilang akibat proses pengeringan. Selain itu proses pengeringan tersebut ternyata juga menurunkan populasi mikrobia asam laktat dan khamir yang memiliki kemampuan dalam memfermentasi biji kakao. Penelitian yang dilakukan oleh Widianto, dkk (2013) menunjukkan bahwa proses fermentasi kering untuk biji kakao dapat dilakukan dengan penambahan substrat berupa tetes tebu , inokulum khamir seperti Shaccaromyces cereviciae dan bakteri asam laktat Acetobacter aceti. Cara fermentasi kering ialah biji kakao kering sebelum dimasukkan pada kotak fermentasi ditambhkan larutan tetes tebu dan inokulum mikrobia yang disebutkan tadi. Setelah itu di aduk barulah ditutup dengan daun pisang atau kain. Penutupan ini berfungsi agar proses fermentasi berjalan dengan baik serta mengurangi timbulnya kontaminan. Dengan adanya inovasi fermentasi kering ini , maka kualitas biji kakao Indonesia dapat ditingkatkan walaupun sangat dihasarankan agar proses fermentasi dilakukan setelah buah kakao matang tanpa adanya pengeringan terlebih dahulu. Hal ini karena fermentasi basah lebih sederhana dan hasil yang didapatkan lebih berkualitas tinggi jika dibandingkan dengan fermentasi kering.

Sumber :
Doume, Z.S.Y, Rostiati. G.S.Hutomo. 2013. Karakteristik dan sensoris biji kakao hasil fermentasi pada tingkat petani dan skala laboratorium. Jurnal Agrotekbis, 1(2) : 145-152.

Widianto, Donny. A.D.Pramita, dan S,Wedhastri. 2013. Perbaikan proses fermentasi biji kakao kering dengan penambahan tetes tebu, khamir dan bakteri asam asetat. Jurnal Teknosains, 3(1) :38 -44.

Halo dunia!

Ini adalah pos pertama Anda. Klik tautan Sunting untuk mengubah atau menghapusnya, atau mulai pos baru. Jika Anda menyukai, gunakan pos ini untuk menjelaskan kepada pembaca mengapa Anda memulai blog ini dan apa rencana Anda dengan blog ini.

Selamat blogging!